SMALL ACTION BIG CHANGE (Part One)

Artikel352 views

SMALL ACTION BIG CHANGE
(Cerita Subuh, dari Rumah Walikota Palu, Hadiyanto Rasyid)

PENATEGAS – Suatu pagi, saya menemani satu anak muda kelahiran Palu, temui Walikota Palu. Dia ingin membangun kolaborasi mitra Nasional dan atau mitra internasional dengan Kota Palu. Dia bersama kawan-kawannya, telah jalankan dengan kota lain di Indonesia. Tapi ini, dia ingin berkontribusi untuk kota tempat lahirnya. Hasrat itu, saya hubungkan dengan Walikota, Semoga bermaslahat.

By, Muhd Nur SANGADJI

(Bagian Pertama)

SEPERTI pasien dokter, orang-orang duduk berjejer. Disiapkan sejumlah kursi di beranda rumah. Orang-orang masuk bergiliran temui pemimpinnya. Di depan mereka, ada pengawal yang berdiri mengawasi. Beliau memastikan proses penerimaan tamu ini berlangsung tertib dan aman. Ini rutin setiap subuh.

Anterian itu bergerak perlahan. Kecepatannya tergantung masalah yang dibawa. Setiap ada yang keluar, yang lainnya dapat giliran masuk. Ada yang datang dengan tangan kosong. Ada juga yang membawa kertas berjilid. Entahlah, kalau itu proposal atau sejenisnya.

Subuh, 22 April 2025, Saya ada dalam barisan anterian itu. Dapat saya pastikan, mereka ini adalah rakyat jelata. Pastilah juga datang dengan masalah bervariasi. Masalah Individu, sampai masalah publik. Menunggu giliran tanpa perlu memaksakan diri. Semua orang mendapatkan kesempatan yang sama. Dalam waktu menunggu inilah artikel ini saya tulis.

Tiba tiba saya ingat Gubernur Aminuddin Ponulele. Almarhum juga punya tradisi menerima tamu di subuh hari. Setiap pagi orang berjubel. Datang bawa masalah. Mungkin, ada juga yang bawa solusi. Tapi Apriori, lebih banyak yang bawa masalah. Saya belum pernah hadir. Namun khabarnya, Gubernur sekarang, Anwar Hafid pun begitu. Bayangkan, sebelum ke kantor, sang pemimpin sudah menerima bertumpuk-tumpuk persoalan warga. Saya juga pernah lihat, Walikota Rusdi Mastura merogok kantong untuk bayar rekening listrik warga yang datang mengadu. Saya merenung, berat nian tanggung jawab seorang pemimpin itu.

Ingatan ku melayang jauh ke belakang. Kepada teladan seseorang bernama Umar Bin Khattab. Beliau berkantor di alam. Pernah menerima tamu di bawah pohon. Keluhan masyarakat tersampaikan. Komunikasi mengalir di semua sudut ruang.

Saya pernah menulis satu ketika tentang komunikasi. Saya bilang, komunikasi acap kali menjadi solusi dari banyaknya persoalan. Meskipun persoalan tersebut belum terpecahkan. Saya punya pengalaman mendampingi Pemerintah kota palu tahun 2002 sebagai Urban Advisory Manajemen (UMA). Sebuah program dari UNDP. Waktu itu, Walikotanya Almarhum Baso Lamakarate. Saat itu, kota Palu mengalami mati-hidup lampu. LSM tidak berhenti demonstrasi.

Satu waktu saya tanya pada pemimpin LSM di Palu. Mengapa kamu sudah tidak demonstrasi lagi. Mereka bilang telah tahu duduk masalah, mengapa lampu harus mati-hidup bergiliran. Ternyata, kawan-kawan LSM ini mendapat kesempatan berkomunikasi dengan pemimpin PLN. Dan, saat itulah mereka mengetahui duduk masalah yang sesungguhnya. Jadi, komunikasi adalah intinya.

Tahun 2004, saya bersama sejumlah sahabat di Indonesia Timur diperjalankan oleh BAPPENAS ke Jepang. Belajar tentang pemberdayaan masyarakat. Pulang dari sana, kami mengikat dari dalam satu perkumpulan. Namanya, COMMIT (Community Inisiatif for transformation). Ini penting, karena hemat saya, masyarakat yang telah kehilangan Inisiatif, sesungguhnya mereka sudah tidak ada alias mati.

Di Jepang ini saya mendapat cerita menarik. Mereka punya pemerintah yang sangat amanah. Punya teknologi yang mumpuni. Punya anggaran yang sangat memadai. Birokrasinya bekerja dengan sangat profesional.

Karena itu, pelayanan publiknya sangat prima. Sebab itu pula, rakyatnya sangat tergantung pada pemerintah. Bahkan ada cerita benaran ; bila ada hewan mati di depan rumah penduduk. Mereka menelpon Walikota untuk minta tolong.

Tapi, ketika bencana di Kota Kobe tahun 1995, segalanya berubah. Bencana itu melumpuhkan semua bentuk pelayanan publik. Pemerintah tidak berdaya. Masyarakat apalagi. Maka saat itulah
lahir kesadaran kolektif untuk tidak boleh menggantung segalanya pada pemerintah. Di era ini, bermunculan organisasi-organisasi masyarakat. Mereka menyebutnya dalam bahasa inggris, “non profit orgazation”. Sejenis Lembaga Swadaya Masyarakat atau NGO (non governmental organization).

Lahirlah kesadaran bahwa sekuat apapun pemerintah, tidak akan sanggup menyelesaikan semua persoalan pembangunan dan kemasyarakatan. Maka, partisipasi menjadi penting. Dan, komunikasi adalah penentunya. Semoga.

Bersambung ke Bagian kedua... !

News Feed