Jejak Senyap Sang Realis dari Balikpapan yang Menggetarkan Dunia

Nasional201 views

PENATEGAS – Di sebuah rumah sederhana di Gang Kesatuan, Balikpapan, aroma cat minyak dan terpentin bercampur menjadi wangi khas yang menandai keberadaan seorang perupa yang hidup sepenuhnya untuk seni. Di sana, Cadio Tarompo yang nama kecilnya Ariyadi menghabiskan pagi dan malamnya di depan kanvas.

Suasana sunyi, sesekali ditemani musik etnik Borneo, menjadi ruang tempat ia merawat imaji dan kenangan yang kemudian mewujud menjadi lukisan-lukisan realis yang penuh kedalaman.

Lahir di Bone Sulawesi Selatan, 27 Juli 1971, Cadio bukanlah potret seniman yang lahir dari sekolah seni formal atau jalur akademik bergengsi.

Sebaliknya, ia adalah representasi dari ketekunan otodidak. Seorang anak kolong yang masa kecilnya berpindah dari satu kota ke kota lain, menyimpan kegemaran corat-coret di buku pelajaran ketika kertas gambar belum mampu ia dapatkan.

Perpindahan itu justru menanamkan sesuatu yang kelak menjadi ciri penting dalam lukisannya, kepekaan merekam wajah, budaya, dan kisah dari tempat-tempat yang ia singgahi.

Jejak Senyap Sang Realis dari Balikpapan yang Menggetarkan Dunia
Tongkat Estafet. ukuran 150 x 110 cm. media akrilik di kanvas. tahun 2024

Karya-karya Cadio adalah medan pertemuan antara ketelitian visual dan getaran batin. Ia dikenal lewat representasi kuat mengenai eksotika Dayak, kulit berpori, kerut wajah tua, bulu-bulu hiasan, manik-manik yang memantulkan cahaya. Setiap detail seolah hendak mendekatkan penonton pada tubuh kebudayaan yang sedang ia rayakan.

Bagi Cadio, melukis bukan sekadar memindahkan realitas ke kanvas, melainkan “refleksi dari apa yang saya lihat, dengar, rasakan, dan saya pikirkan. Dari prinsip inilah warna cerah menjadi bahasa yang ia pilih. Warna yang ia yakini mampu menyampaikan keberanian, kehangatan, dan energi spirit Borneo.

Tahun 1993, ketika ia kembali ke Kabupaten Sengkang Sulawesi Selatan dan mengikuti Pameran Pembangunan, seolah menjadi tanda awal bahwa hidupnya akan terhubung erat dengan panggung seni.

Sekembalinya ke Balikpapan, ia bergabung dalam Pameran “Kawula Muda” dan dari sanalah berdiri Sanggar Kembara, rumah kreatif yang menjadi bagian penting dari perjalanan awalnya.

Sejak momen itu, perjalanannya seperti aliran sungai yang tak lagi dapat dihentikan. Pada tahun 1995 ia memenangkan Lomba Lukis Model se-Kaltim—aura kemenangan pertama yang membuat namanya mulai diperhitungkan.

Namun puncak pembuka cakrawala terjadi pada 2006. Untuk pertama kalinya, sebuah undangan dari Hubei Art College, Wuhan, China, membawanya keluar negeri.

Jejak Senyap Sang Realis dari Balikpapan yang Menggetarkan Dunia
Hasil jika dilihat dengan kamera mode negatif

Ruang pamer itu seakan mempertemukannya dengan masa depan yang lebih besar. Setelahnya, Singapura, Malaysia, Hong Kong, Vietnam, hingga Jerman menjadi titik-titik perjalanan yang meneguhkan posisinya sebagai perupa Balikpapan yang benar-benar go internasional.

Meski telah berkali-kali menginjak panggung luar negeri, kaki Cadio selalu kembali ke Balikpapan. Ia ikut mendirikan komunitas Lamin Seni Rupa Balikpapan (LIPAN), terlibat dalam puluhan pameran daerah, dan menjadi motor bagi banyak inisiatif publik: mural, pengecatan kampung wisata, serta karya 3 dimensi yang mempercantik ruang kota.

Salah satu proyek yang sering dikenang publik adalah keterlibatannya dalam penataan mural di Kampung Warna Warni Teluk Seribu, sebuah ruang yang menjadikan seni sebagai wajah baru wisata Balikpapan.

Yang menarik, bagi Cadio, keluarga bukan sekadar penghibur di tengah kesibukan, tetapi juga rekan kreatif. Bersama sang istri, Marty, serta ketiga anaknya: Alodia Vandora Tarompo, Tory Tofoji Tarompo dan Hanifah Tarompo, ia kerap menciptakan mural dan proyek kolaboratif.

Uniknya, anak sulungnya Alodia Vandora Tarompo pun menapaki jalur seni melalui cabang kaligrafi di ajang MTQ ke-53 kota Balikpapan.

Di studio rumahnya, batas antara keluarga dan karya seakan hilang, semua menyatu dalam atmosfer kreatif yang hangat.

Masuk nominasi di Jakarta Art Award 2008, Indonesia Art Award 2010, UOB Painting of The Year 2011, hingga favorit di Mandiri Art Award 2015, hanyalah sebagian kecil dari rekam jejak yang panjang.

Ia juga menerima banyak penghargaan daerah, termasuk Anugerah Kebudayaan Kalimantan Timur 2023 sebagai pelopor seni rupa. Namun, bagi Cadio, penghargaan bukan tujuan akhir. Ia selalu menyebut bahwa tujuan terbesarnya adalah kejujuran dalam karya.

Ketika wartawan Penategas.id berkunjung ke studio kecilnya, suasana tampak bersahaja.  Dinding penuh kanvas, kuas-kuas tergeletak, dan beberapa sketsa baru menyebar di meja panjang. Justru dari ruang kecil inilah karya-karya besar lahir, menyebrangi lautan, dipajang di galeri-galeri Asia hingga Eropa.

Cadio tidak mengejar popularitas. Yang ia kejar adalah kedalaman. Dan mungkin disitulah letak kekuatan Cadio Tarompo. Ia tidak hanya melukis wajah Dayak atau budaya Borneo, tetapi melukis ingatan, melukis jiwa, melukis identitas yang ia temukan sepanjang hidupnya.

Dengan lebih dari tiga dekade berkarya, ratusan pameran dari 1993 hingga kini, serta keterlibatan aktif dalam komunitas seni, Cadio Tarompo telah menjadi salah satu pilar penting seni rupa Balikpapan.

Ia adalah saksi perjalanan perubahan kota, sekaligus sosok yang memberi warna dalam proses itu. Melalui karyanya, ia memperkenalkan Borneo kepada dunia dan dunia mengenal Borneo melalui karya-karyanya.

Nama Cadio mungkin lahir dari sebuah rumah sederhana di ujung gang kecil, namun jejaknya kini mendunia. Dan selama tangannya masih setia menyentuh kanvas, kisah seni itu akan terus tumbuh, mengalir, dan memberi inspirasi bagi generasi berikutnya.

 

Baca Juga:  https://penategas.id/akses-jalan-sintulu-terputus-akibat-cuaca-ekstrem-warga-desak-pemerintah-donggala-bergerak-cepat/

 

News Feed