_ Bertepatan Hari Bumi yang jatuh pada Selasa (22/4/2025), artikel ini saya remajakan ulang (rejuvenite). Tema peringatan Hari Bumi tahun ini adalah “Our Power, Our Planet” atau “Energi Kita, Planet Kita”. Salah satunya adalah Air. Hal yg kita kuatir dari Air adalah ; dia ada di mana-mana tapi tak setetes pun bisa diminum (water is every where but no drop to drink). _
By: Muhd Nur Sangadji. (muhdnursangadji@gmail.com)
“Kepala PPLH Universitas Tadulako”
SAYA sengaja memilih judul yang berkait dengan bumi. Selain karena hari Bumi. Juga karena, kata bumi ini disematkan pada beberapa tempat di kota Palu, Ibu kota Sulawesi Tengah. Ada bumi bahari, bumi nyiur dan bumi sagu. Semuanya penanda ekologis. Entah sengaja atau kebetulan, kawan karib saya, Saleh Awal menulis beberapa tahun silam, menulis judul pada catatannya yang ke 13. “Masa Depan Sulawesi Tengah”. Angka 13 ini adalah tanggal lahirnya provinsi ini pada bulan April 1964.
Satu ketika saat memperingati ulang tahun Provinsi Sulawesi Tengah, saya menerima tulisan dari kawan karib yang lain, Nasrulah, tentang air. Ternyata, pada awal pemerintahannya pak Harto, beliau punya seorang konsultan asal Amerika. Waktu pak Harto minta nasehat tentang Indonesia, sang konsultan mengingatkan dua hal : pangan dan air. Sekarang, relefansinya tetap penting dengan satu tambahan lagi, yaitu : energi. Walaupun pangan dan air itu sendiri adalah energi.
Para ahli mengkategori kondisi air pada kurang lebih tiga keadaan. Kategori tersedia, lebih 1700 liter/orang/tahun. Langka, antara 500 sd 1700 liter/orang/tahun. Dan kritis, kurang dari 500 liter/orang/tahun. Daerah yang berada pada kategori kritis umumnya adalah pulau jawa. Beberapa daerah lain di indonesia masuk kategori langka.
*******
Indikator lain, tentang kritisnya air dapat dilihat dari ketiadaannya (water is nothing) atau berlimpah tapi tidak bisa diminum setetes pun (water is every where but no drop to drink). Dua indikator ini yang terjadi di banyak tempat di Indonesia. Bentuknya adalah kekeringan atau berlebihan dalam bentuk luapan, tercemar ataupun banjir bandang mengikuti musim.
Untuk daerah Sulawesi Tengah, secara umum masuk kategori tersedia menuju kelangkaan. Ada daerah yang airnya masih berlimpah, tapi ada juga daerah, terutama di pulau pulau kecil, tergolong langka bahkan kritis. Pulau pulau kecil dengan masalah air tersebut tersebar antara lain di Donggala, Tojo Una-Una, Morowali, Luwuk, Banggai Pulau dan Banggai laut. Sedangkan khusus kota Palu, problem pengurasan air tanah dalam (ground water), akan menjadi masalah. Sayang, antisipasinya justru kurang terlihat.
Beberapa daerah di Sulteng yang saya ikut berkontribusi terhadap kajian lingkungan hidup strateginya, mengungkap banyak hal menarik. Hampir semua daerah itu pernah mengalami bencana banjir. Jalan dan jembatan yang putus akibat diterjang banjir, sudah menjadi peristiwa rutin. Parigi dan Bungku sebagai contoh tentang jembatan besar yang roboh berantakan. Sekarang telah dibangun kembali. Tentu, dengan uang tidak sedikit. Tapi, apakah sudah diikuti dengan iktiar teknis dalam bentuk rencana dan tindakan aksi guna antisipasi kejadian serupa ? Sepertinya, sulit mendapat jawaban pasti. Sebagaimana pada daerah yang lain, umumnya pasrah menunggu giliran takdir.
Padahal, banjir itu adalah fungsi dari curah hujan dan serapan (absorbsi) bumi. Makin tinggi intensitas curah hujan, berbanding terbalik dengan serapan bumi yang makin rendah, akan memproduksi banjir. Absorbsi bumi ditentukan oleh kerimbunan tanaman permukaan (coverture vegetal). Makin jarang tumbuhannya, makin besar tumbukan butiran hujan menerpa bongkahan tanah. Ini menghempaskan butiran tanah, menutupi pori dan menghalangi infiltrasi air permukaan. Akibatnya, aliran permukaan (run off) membesar membentuk banjir.(*)
(Penulis, Assoc. Profesor bidang Ekologi Manusia di Universitas Tadulako)
(Bersambung pada bagian ke dua).