Cerita Pendek: “Aco”

Hiburan239 views

DI sebuah kota kecil yang dikelilingi bukit, sungai, gunung, lembah, dan lautan. Ada pohon flamboyan yang menggugurkan bunga seperti hujan api di musim kemarau, nama Aco masih bergema di lorong-lorong kampus yang telah lama ia tinggalkan.

Suatu masa, ia duduk di singgasana tertinggi ilmu, disebut profesor bergelar banyak, disanjung karena kecerdasan dan ketegasan yang menyilaukan. Namun cahaya yang terlalu terang kadang membakar dirinya sendiri.

Aco adalah lelaki yang menolak senja. Ia menua, tetapi enggan menepi. Saat jabatan menguap dan hormat orang-orang berangsur menjadi basa-basi, ia menggenggam masa lalu seperti menggenggam bara, tapi tak ingin dilepas.

Ia masih berjalan dengan dada tegap, meski seragamnya telah dilucuti negara. Dia kini hanya mantan: mantan pejabat, mantan guru besar, mantan manusia yang disegani.

Namun ia tak mau menjadi mantan penguasa. Di dalam dirinya, takhta itu masih bayang-bayang yang seolah masih utuh. Ya, dia kena penyakit infeksi kekuasaan atau ada yang menyebut post power sydrom.

Konon, di masa lalu, Aco pernah menukar kebenaran dengan kepentingan. Seorang yunior dijadikannya tumbal di hadapan lembaga; satu nama dikorbankan agar roda kekuasaan berputar sesuai porosnya. Ia mahir memainkan rasa takut dan harap, seperti dalang yang menggerakkan wayang dengan jemari tak terlihat.

Ia meneror dengan tega pada sahabat dan tentangganya yang tidak sejalan dengan kehendaknya. Dan ketika kampus bergolak, ketika suara-suara menentangnya tumbuh seperti jamur di musim hujan, Aco menebar teror.

Ada rumah yang dilempari batu di malam gelap, ada mobil yang pecah kacanya, ada nyali yang remuk oleh ancaman akun-akun palsu tanpa wajah. Semua orang tahu, tapi tak seorang pun berani menyebut nama.

Kini, di masa tuanya, Aco tinggal di rumah besar di pinggir kota. Dia mendirikan media kecil yang katanya “independen”—padahal hanya cermin yang memantulkan wajahnya sendiri. Ia menulis berita tentang dirinya: korban fitnah, orang baik yang dizalimi, pejuang kebenaran yang dikorbankan oleh rezim kampus.

Ia menulis dengan nama samaran, menyunting tulisannya sendiri, memuji dirinya dengan kalimat yang ia karang dari rasa dendam. Setiap paragraf adalah pelarian dari penyesalan yang tak pernah diakui. Memang dia seperti bongkahan batu neraka yang menyala-nyala tanpa henti, tanpa kesadaran, tanpa rasa tobat, dan penyesalan.

Malam-malam di rumah itu penuh detak jam dan suara jemari mengetik berita dan bisik-bisik palsu yang gila sasar. Ia menatap layar, menulis tentang pengkhianatan orang lain, padahal yang ia lawan hanyalah bayangannya sendiri.

Di luar jendela, angin membawa bisikan masa lalu: suara para yunior yang dulu ia kecewakan, suara sahabat yang menggumam kesakitan karena harus menjalani hukuman pemecatan sebagai korban, ada suara-suara rekan sejawat yang pernah ia hancurkan demi kekuasaan.

Dan di tengah keheningan itu, hanya suara burung hantu yang menjawab—burung malam yang setia mengingatkan bahwa setiap manusia punya waktunya sendiri untuk diadili, entah oleh hukum, entah oleh hati nurani, dan pasti pengadilan akhirat akan membuka semua keborokan dan keburukan yang dia sembunyikan dengan retorika. Tak ada retorika media, atau kata-kata manis pembelaan di hadapan pengadilan Tuhan.

**

Suatu pagi, Aco menatap dirinya di cermin. Di balik kerutan dan rambut memutih, ia melihat sosok yang asing. “Mereka yang jahat padaku,” gumamnya lirih. Tapi gema di dadanya menjawab pelan: “Atau mungkin akulah yang jahat pada mereka, pada sahabat-sahabatku, pada adik-adikku yang punya istri dan anak-anak yang masih kecil. Aku tega memenjarakan mereka karena ambisiku.”

Namun penyesalan bukan bahasa yang dikuasainya. Ia masih menulis berita baru tentang “kejahatan para musuh”, dan merekayasa berita-berita seolah ada “tangan-tangan gelap yang menyingkirkannya”.

Padahal dialah sutradara sekaligus aktor intelektual yang membuat nama kampus tercoreng. Dunia masih harus tahu, pikirnya, bahwa ia suci—meski lumpur di tangannya sudah mengering menjadi kerak yang tak bisa hilang.

**
Suatu malam, listrik padam. Rumahnya terbenam dalam gelap, hanya diterangi sumbuh lilin di atas meja tulis. Hanya suara jangkrik yang memecah senyap. Aco duduk sendiri di depan layar hitam, menatap pantulan wajahnya di permukaan kaca. Di sana, ia melihat dua dirinya: satu yang dulu diagungkan, satu lagi yang kini membusuk dalam sunyi.

Ia teringat semua nama yang pernah ia lukai. Yunior yang dikorbankan demi ambisi. Dosen-dosen yang dipaksa tunduk. Para pegawai yang diancam karena tak memilih sesuai kehendaknya. Semuanya seperti arwah yang kini datang bergiliran menuntut pengakuan.

Dalam hati, ia ingin memohon maaf. Tapi lidahnya keluh, terlalu kaku oleh kebiasaan membela diri. Ego telah menjadi agama yang tak mungkin ia tinggalkan.

Lilin di depannya perlahan meleleh, meneteskan cahaya seperti air mata yang tak berani jatuh. Di luar, angin berbisik pelan: Tobatlah Aco. Tapi ia hanya menarik napas panjang, lalu menuliskan satu lagi berita palsu, seolah kalimat-kalimat itu bisa menebus segala yang hilang.

**

Orang-orang kampus kini menyebut namanya dengan getir, seperti menyebut legenda muram yang patut dihindari. Aco hidup, tapi kisahnya sudah menjadi elegi—tentang manusia yang berilmu tinggi namun tersesat dalam nafsu kekuasaan.

Ia pernah memiliki segalanya: jabatan, ilmu, dan ketakutan orang-orang. Tapi pada akhirnya, ia hanya memiliki satu hal—kesepian yang ia pelihara sendiri.
Dan di senja terakhir hidupnya, ketika pena yang ia genggam akhirnya patah, mungkin ia baru sadar: bahwa dosa yang paling berat bukanlah pada orang lain, melainkan pada dirinya sendiri—karena menolak bertobat ketika semesta sudah lama memanggilnya pulang.

Di atas meja kerjanya, kertas terakhirnya ditemukan dengan kalimat yang belum selesai: “Aku ingin menulis tentang kebenaran… tapi aku lupa bagaimana bentuknya.”

**

Angin sore membawa lembar itu ke lantai, di antara tumpukan berita palsu dan serpihan lilin beku—meninggalkan jejak sunyi seorang manusia yang pernah merasa lebih tinggi dari cahaya, namun akhirnya tenggelam oleh bayangannya sendiri. (*)

News Feed