KEPALSUAN SWASEMBADA PANGAN DALAM LINGKARAN TIPU-TIPUAN…?

Artikel760 views

(Generasi kita akan Menerima Akibatnya)

KEPALSUAN telah menjadi isu paling heboh saat ini. Sebelumnya, sebuah vidio yg masih beredar, menggambarkan kemarahan anggota dewan terhadap pejabat kementerian Pertanian Republik Indonesia. Marah karena ternyata, penghargaan dari IRRI (The Internasional Rice Research Institut) kepada Presiden RI, Jokowi tentang Swasembada Pangan. Piagamnya dibuat sendiri oleh Indonesia. Meskipun IRRI perwakilan Indonesia mencoba meluruskannya. Orang ikut membayangkan, manusia sekelas Presiden saja bisa ditipu atau tertipu (dalam tanda kutip).

By: Muhd Nur Sangadji

————
Kita sedang terjebak di antara tertipu, menipu diri dan atau menipu bangsa sendiri. Kesihaaaaaan Nasib negeri kita ini. Dahulu ditipu penjajah. sekarang ditipu bangsa sendiri.

Saya ingat cerita dari Universitas Indonesia satu tahun lalu, 2024. Kala itu saya dan Prof Andi Matulada diterima oleh jajaran sekolah Pascasarjana UI, khususnya bidang lingkungan hidup. Terungkaplah cerita tentang kerjasama laboratorium antara UI dan sebuah Universitas di Singapura. Ternyata, Universitas Singapura tersebut mengorder pekerjaan itu ke Taiwan. Karena kasihan kepada Universitas Indonesia maka Taiwan membongkar cerita relasi transaksi akademik ini. Syukurlah sekarang, Universitas Indonesia sudah langsung bekerja sama dengan Universitas di Taiwan tersebut.

Saya merenung saat dengar cerita itu. Kalau universitas se kelas UI saja bisa tertipu. Bagaimana dengan Universitas sekecil Tadulako di Palu, tempat saya berkarier ? Dan pula, itu terjadi belum lama, tapi sudah sekian lama hingga tahun 2024. Ini artinya, meskipun kita telah merdeka lebih tujuh puluhan tahun, masih mudah ditipu atau tertipu. Makin dalam saya merenung. Kian bingung saya bertanya ; “apa sesungguhnya yang salah ?”

*******
Sekitar tahun 1996, Presiden Soeharto menerima Penghargaan dari FAO PBB di Kota Roma Italia. Tapi, itu benar penghargaan asli. Bukan rekayasa. Tidak ada sertifikat yang dicetak sendiri. Saat itu, saya bersama para sahabat persatuan pelajar Indonesia (PPI) se Eropa sedang berkumpul di kota Paris Perancis. Kami bikin kegiatan Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Indonesia Se Eropa. Di acara itu, isu Swasembada pangan marak dibicarakan. Waktu itu, saya menulis sebagai respon atas penghargaan dunia pada Indonesia itu dengan judul : Swasembada : Untung Buat Siapa…?

Pada tulisan itu saya bilang, daripada swasembada, lebih baik rakyat ditingkatkan pendapatannya agar mampu membeli beras impor. Ini, saya gunakan logika ketahanan pangan. Maknanya, pangan harus tersedia. Dari mana pun datangnya.

Tapi, setelah Covid 19, saya meralat tulisan tersebut. Pangan, memang harus tetap tersedia, namun mesti bersumber dari tanah pertanian kita sendiri. Dan, ditanam oleh petani kita sendiri. Petani Indonesia. Serta, pemiliknya harus orang Indonesia juga. Inilah logika tentang kedaulatan Pangan. Di logika ini, ada nasionalisme dan patriotisme.

Mengapa? Karena, meskipun kita punya uang. Kalau Negara lain tidak mau menjual pangannya. Lantaran mereka juga perlu untuk kebutuhan dalam negerinya. Lantas, kita mau bikin apa…? Itulah sebabnya kata Presiden Soekarno, kita harus hidup berkebangsaan dalam kebersamaan (le Desire de vivre ensamble; keinginan untuk hidup bersama).

*******
Lagi, mengapa haru begitu cara berpikirnya? Karena boleh jadi. Ditanam di tanah kita oleh petani kita. Tapi, pemiliknya bukan lagi orang kita, orang Indonesia. Mereka adalah bangsa lain. Nyata, seperti yang telah terjadi saat ini untuk kelas perkebunan besar (state) sebagai contoh. Bukti paling kongkrit adalah kelapa sawit.

Tidak usah jauh-jauh. Sebutlah kebun kelapa sawit tempat saya pernah bekerja sebagai Asisten Manajer tahun 1989. Model kebun dengan pola perkebunan Inti Rakyat (PIR) tersebut, terletak di Morowali Sulawesi Tengah. Kebun ini bernama Tamako Graha Krida (TGK). Statusnya saat dibangun adalah Swasta Nasional. Pemiliknya Salim Group. Pengusaha Indonesia. Khabarnya, sekarang telah menjadi milik asing.

Nampaknya sejarah berulang (le histoire se repeter). Di praktekan dahulu oleh terutama VOC Belanda. Cultuurstelsel (tanam paksa) oleh Van den Bosch. Begitu juga Jepang. Kebun besar milik penjajah. Letaknya di Bumi Nusantara. Pekerjanya orang Indonesia. Diterapkan dengan paksa dan intimidasi (kerja rodi) lagi. Bila sejarah benar,-benar akan berulang. Maka, generasi terpaksa harus menerima akibatnya. Dan, generasi itu adalah anak-anak kita sendiri. Karena itu, kita patut gelisah dan bertindak untuk mencegahnya. Semoga.(*)

News Feed