PENATEGAS — Di usia 54 tahun, Heri Legi tetap setia pada profesinya sebagai sopir. Meski banyak pilihan hidup datang dan pergi, ia tetap mengemudi di jalan panjang kehidupan dengan kesabaran, ketekunan, dan kejujuran.
“Saya ini sudah bawa mobil sejak SMP,” ujarnya sambil tersenyum. “Awalnya bukan karena kemauan, tapi karena keadaan.”
Ditemui di Kota Palu Sulawesi Tengah, Jumat (17/10/25), Heri cerita kisahnya berawal dari tahun 1990-an, saat ia mulai mengenal dunia kerja.
Kala itu, menjadi sopir bukan cita-cita, melainkan jalan yang terbuka karena kebutuhan. “Dulu nggak kepikiran jadi sopir, tapi karena musim hidup yang sulit, akhirnya saya teruskan saja,” katanya. Dari situlah, profesi sopir menjadi bagian dari hidupnya.
Namun perjalanan hidup Heri tak selalu di belakang kemudi. Ia sempat menekuni pekerjaan tambang emas tradisional di Dongi-dongi, Poboya, dan Ratatotok di Kabupaten Minahasa Tenggara Sulawesi Utara. Pengalamannya di dunia tambang meninggalkan banyak kenangan dan pelajaran berharga.
“Kalau di tambang itu seperti orang cari ikan di air keruh,” ucapnya. “Kadang hasilnya bagus, kadang tidak ada sama sekali. Tapi resikonya besar, apalagi kalau sudah di dalam lubang.”
Heri kelahiran Kabupaten Minahasa Tenggara, 54 tahun lalu masih ingat betul masa ketika gempa melanda Kota Palu 2018 silam. “Kalau pas di dalam lubang dan terjadi gempa, kita enggak tahu nasib kita bagaimana,” katanya dengan nada serius.
“Namanya musibah, siapa yang bisa tahu.” Karena risiko itulah, Heri akhirnya memilih kembali ke profesi lamanya menjadi sopir. Kini, di usia yang tak muda lagi, Heri tetap mengemudi. Bagi dia, pekerjaan sebagai sopir bukan sekadar profesi, tetapi jalan hidup.
“Kalau di kompleks tempat saya tinggal, rata-rata penambang semua,” ujarnya. “Tapi saya tetap di jalur sopir, karena ini yang saya bisa dan saya nikmati.”
Pekerjaan sebagai sopir, terutama pengemudi truk, memang tidak ringan. Ia sering harus menempuh perjalanan jauh, melewati tanjakan, turunan, bahkan hutan dan pemakaman di tengah malam.
“Kalau ban pecah di jalan, mau tidak mau harus diperbaiki juga, di mana pun itu,” katanya. “Kadang istri ikut menemani di perjalanan, karena biaya karyawan mahal.”
Heri mengaku sudah terbiasa dengan suka-duka di jalanan. “Kalau muatan berat, bisa tiga hari dua malam di jalan. Kadang panas, kadang hujan, tapi harus kuat,” ujarnya.
Ia selalu memegang satu prinsip sederhana yang menjadi pegangan hidupnya: kejujuran. “Dimana saja kita kerja, yang penting jujur,” tegasnya. “Kalau kita jujur, orang pasti percaya. Itu modal utama.”
Kini, Heri tengah merencanakan membangun rumah dari hasil kerja kerasnya. Ia tidak banyak menuntut, hanya ingin hidup tenang bersama keluarga dan terus mengemudi selama masih mampu. “Selama bisa pegang setir, saya jalan terus,” ujarnya menutup pembicaraan.
Dari tambang hingga jalanan, Heri Legi membuktikan bahwa kesetiaan pada kerja keras dan kejujuran bisa menjadi kompas hidup yang paling kokoh. Sebuah kisah sederhana, namun sarat makna tentang seorang sopir yang tak sekadar mengemudi kendaraan, tapi juga mengemudi kehidupannya sendiri.
Baca Juga: https://penategas.id/untad-sambut-tim-asiin-dorong-internasionalisasi-kampus/






