Cerita Pendek 2: “Aco dan Tulisannya”

Hiburan120 views

TAK ada yang benar-benar lupa pada nama Aco, meski banyak yang berusaha menguburnya dalam ingatan. Kampus di pinggir kota itu masih menyimpan bekas tapak langkahnya, jejak kekuasaan yang dulu diagungkan, lalu menjelma luka yang lama sembuhnya, akibat ulahnya sendiri.

Dulu, Aco adalah penguasa tak terbantahkan. Gelar kebesaran akademik yang disematkan padanya adalah Guru Besar, orang-orang menyebutnya, menjadi tameng sekaligus senjata.

Dengan dalih idealisme, ia menata kampus menurut kehendaknya sendiri. Siapa yang sejalan dirangkul, siapa yang ragu diteror.

Ruang-ruang diskusi berubah sunyi, papan pengumuman penuh ancaman halus, dan bisik-bisik ketakutan mengalir dari lorong ke lorong.

Namun kekuasaan yang dibangun di atas intimidasi selalu rapuh. Pelanggaran demi pelanggaran hukum yang ia halalkan akhirnya menelanjanginya. Gelar GB dicabut.

Pintu penjara terbuka untuknya, karena kesalahannya. Ia menabur teror di kampus agar ditakuti semua orang. Ia pernah memecat seenak perut karena orang tersebut tidak mau ikuti keinginannya yang dinilai ego dan memaksakan kehendak.

Waktu berjalan. Penjara membuka pintunya. Aco keluar, lebih kurus, namun matanya tetap menyimpan bara. Ia tak kembali dengan penyesalan, melainkan dengan koran, surat kabar, yang ia bentuk sendiri, seolah kebenaran bisa dicetak ulang sesuai kehendak.

Lewat kolom opini dan unggahan media sosial, Aco menulis ulang sejarah. Ia tampil bersih, seakan tak pernah ada jeruji, tak pernah ada korban. Tulisan-tulisannya tajam, namun hampa fakta.

Ia menebar fitnah seperti menabur benih di tanah gersang, tak peduli tumbuh atau tidak, yang penting terlihat ramai.

Isu-isu dilontarkan, nama-nama diseret, pemimpin kampus saat ini, dituduh dengan kejahatan yang dahulu justru ia rayakan sebagai strategi.

Aneh, pikir orang-orang. Tuduhan itu cermin. Setiap kata yang ia tulis memantulkan bayangannya sendiri. Aco kian membabi buta.

Teror yang dulu ia sebar kini ia anggap pembenaran. Ia percaya, semakin keras ia menuduh, semakin jauh masa lalu tertutup.

Ia lupa bahwa kebenaran bukan kain yang bisa dicuci dengan tinta. Ia lupa bahwa luka para korban tak menguap hanya karena sebuah tajuk utama.

Di sudut-sudut kampus, generasi baru membaca. Mereka tidak mengenal Aco sebagai penguasa, melainkan sebagai pelajaran. Bahwa kuasa tanpa nurani berujung sepi.

Bahwa tulisan tanpa kebenaran hanya gema kosong. Bahwa fitnah, betapapun rapi dikemas, selalu kembali kepada siapa yang membuat dan melakukan fitnah. Dan kelak, koran bayangan itu terlipat sendiri, bukan karena dilarang, melainkan karena tak lagi dipercaya.

Suatu waktu, Aco menulis seperti orang yang berlari dari api, tergesa, panas, dan penuh asap. Tangannya gemetar di atas meja redaksi kecil yang ia sebut kantor, sementara layar komputer memantulkan wajahnya yang menua oleh dendam. Ia yakin, kata-kata bisa menyelamatkannya. Ia yakin, dengan menuduh lebih keras, masa lalu akan bisu.

Maka terbitlah sebuah tulisan yang membuat Aco tersenyum getir. Ia merasa sedang menulis kebenaran, padahal yang mengalir hanyalah emosi yang tak pernah ia jinakkan.

Paragraf demi paragraf disusunnya seperti palu, bukan untuk membangun, melainkan memukul. Di kampus, orang-orang membaca.

Mereka yang pernah diteror Aco dulu membaca dengan hening yang lebih dalam dari amarah. Sebab setiap kalimat itu terasa akrab, terlalu akrab.

Namun kampus tua itu ingat. Dulu, Aco-lah yang membangun tembok. Dulu, Aco-lah yang memecat dan mencopot dengan dalih keselarasan. Dulu, Aco-lah yang menyebut hukum rimba sebagai strategi. Ironi itu berdiri telanjang di hadapan semua pembaca. Tuduhan Aco berfungsi seperti cermin retak, memantulkan wajahnya sendiri dalam serpih-serpih kata. Ia menuding kesombongan, padahal ia lupa cara menunduk. Ia menuduh kezaliman, padahal jejaknya masih basah di lorong-lorong kampus yang pernah ketakutan oleh teror-terornya.

Di ruang-ruang diskusi, mahasiswa berbisik: “Bukankah itu kisah lama yang ia ganti nama?” Aco semakin keras. Ia percaya, semakin riuh isu, semakin kabur kebenaran.

Media sosialnya penuh potongan kalimat, judul sensasional, dan metafora tinggi yang kosong dari fakta. Ia mencuci tangan dengan tinta, berharap noda berubah jadi prestasi. Aco kehilangan arah angin, sempoyongan dia berjalan, kehilangan identitas akademiknya, karena keserakahannya.

Ia tak sadar, koran itu tak sedang meruntuhkan siapa pun. Ia sedang menelanjangi dirinya sendiri. Sebab kejahatan yang ia tuduhkan hari ini, pencopotan, pengasingan, teror langsung maupun simbolik, adalah perbuatan yang dulu ia halalkan dan nyata-nyata lakukan.

Dan korban-korban yang pernah ia bungkam kini membaca tanpa perlu membalas. Mereka tahu, kebohongan yang ditulis dengan amarah dan dendam yang membabi buta akan kehabisan napas dan jatuh selama-lamanya.

Suatu pagi, edisi berikutnya tak lagi dinanti. Tajuknya ramai, isinya sepi. Orang-orang melipat koran itu bukan karena takut, melainkan karena paham.

Bahwa kebenaran tak lahir dari emosi, dan kritik tanpa kejujuran hanyalah fitnah yang bersembunyi di balik media yang digunakan untuk menyebar kebohongan.

Aco menatap layar kosong. Kata-kata yang dulu ia percaya kini membatu. Di luar, kampus tetap berdiri, tak sempurna, tapi berjalan.

Dan ia, sekali lagi, tertinggal oleh sejarah yang tak bisa ia sunting. Sudahlah, Aco. Insaflah. Tak ada kemenangan di atas kebohongan, dan tak ada cahaya di ujung terowongan yang dibangun dari fitnah.

Aco kembali menyebut dirinya jurnalis. Kartu pers yang lusuh ia sematkan dengan bangga, seolah gelar baru itu bisa menghapus jejak lama.

Ia menulis lagi. bukan dengan verifikasi, melainkan dengan amarah. Bukan dengan data, melainkan dengan dendam. Berita-beritanya bergerak cepat, menghantam tanpa arah, brutal tanpa tanggung jawab.

Tak ada lagi fakta sebagai pijakan. Yang ada hanya ambisi, kasar dan tak terhormat. Ia mengutip “narasumber” yang tak pernah mau berdiri di bawah cahaya, merangkai judul yang berisik, menumpuk metafora agar kebohongan tampak cendekia. Di ruang redaksi bayangannya, etika disingkirkan demi sensasi.

Orang-orang tersenyum pahit, mungkin karena ia gemar memukul dengan kata dan menyuruh orang untuk menteror.

Ilmuwan menimbang, ia menghantam. Ilmuwan meragukan diri, ia memvonis orang lain. Ilmuwan tunduk pada kebenaran, ia menundukkan kebenaran pada ego. Tulisan Aco pun kian menyerupai selebaran ancaman yang disamarkan sebagai opini.

Ia menyebut kritik, padahal fitnah. Ia mengaku kontrol kekuasaan, padahal dalih pembalasan, karena seolah ia benar, padahal salah. Di setiap kalimat, ada upaya mencuci tangan, namun lumpur masa lalu justru semakin menebal.

Kampus, sekali lagi, membaca. Kali ini tanpa kaget. Mereka tahu jurnalisme tanpa fakta hanyalah teror yang diganti huruf. Dan teror, betapapun dicetak rapi, tak pernah menjadi ilmu.

Aco boleh menulis sesuka hati. Namun sejarah punya editor paling tegas, waktu. Ia menyunting kebohongan dengan sunyi, menghapus kegaduhan dengan ketekunan.

Yang tersisa kelak bukan tajuk Aco, melainkan pelajaran, bahwa gelar tanpa etika hanyalah kostum, dan ambisi tanpa kehormatan adalah kebisingan yang segera usai.

Di halaman terakhir, Aco berhenti menulis, bukan karena sadar, melainkan karena tak lagi dibaca. Dan itu hukuman paling adil bagi jurnalis yang menolak fakta.

Sudahlah, Aco, Tak ada masa depan bagi tangan yang terus mencuci diri dengan lumpur masa lalu, kata bayangannya di dalam cermin.

News Feed